Thursday, March 15, 2012

SIAPA KARTINI?



Siapa Kartini???

14 MARET 2012

Kartini lahir dari keluarga ningrat jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan : R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang jenius dalam bidang bahasa. Dalam waktu singkat pendidikannya di Belanda, ia menguasai 26 bahasa: 17 bahasa-bahasa Timur dan 9 bahasa-bahasa Barat. Kartini sendiri secara formal pendidikannya hanya sampai pada tingkat Sekolah Rendah. Tapi beliau dapat memberikan kritik dan saran yang jelas kepada kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan nota yang berjudul: “Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa”, Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Departemen Angkatan Laut (Marine). Salah satu saran yang beliau ajukan kepada Departemen Kesehatan adalah sebagai berikut:

Para dokter hendaklah juga diberi kesempatan untuk melengkapi pengetahuannya di Eropa. Keuntungannya sangat menyolok, terutama jika diperlukan penyelidikan yang menghendaki hubungan langsung dengan masyarakat. Mereka dapat menyelidiki secara mendalam khasiat obat-obatan pribumi yang sudah sering terbukti mujarab. Jikalau seorang awam menceritakan bahwa darah cacing atau belut dapat menyembuhkan mata yang bengkak, mungkin ia akan ditertawakan. Namun adalah suatu kenyataan bahwa air kelapa dan pisang batu dapat dipakai sebagai obat. Soalnya, sebetulnya sangat sederhana : penyakit-penyakit dalam negeri sebaiknya diobati dengan obat-obatan dari negeri itu sendiri. Telah seringkali terjadi bahwa orang-orang sakit bangsa Eropa, teristimewa yang menderita penyakit disentri atau penyakit lain, yang oleh dokter-dokter sudah dinyatakan tak dapat disembuhkan, masih dapat ditolong oleh obat-obatan kita yang sederhana dan tidak membahayakan. Sebagai contoh, belum lama berselang, seorang gadis pribumi oleh seorang dokter dinyatakan menderita penyakit TBC kerongkongan. Dokter itu mengatakan bahwa ia hanya dapat bertahan 2 pekan dan akan meninggal dalam keadaan yang mengerikan. Dalam keadaan putus asa, ibunya membawanya kembali ke desanya untuk diobati. Dan gadis itu sembuh, menjadi sehat, tidak merasa sakit lagi dan dapat bicara kembali. Apa obatnya? Serangga-serangga kecil yang didapat di sawah, ditelan hidup-hidup dengan pisang emas. Pengobatan yang biadab? Apa boleh buat. Bagaimanapun obat itu menolong, sedang obat dokter tidak. Dokter-dokter kita, sebenarnya dapat mengumumkan kasus-kasus seperti itu, tetapi mereka tidak pernah melakukan hal demikian. Mungkin karena khawatir akan ditertawakan oleh para sarjana? Seorang dokter bumiputera yang pengetahuannya setaraf dengan rekannya bangsa Eropa, jika yakin akan sesuatu, mestinya harus berani menyatakan dan mempertahankan keyakinannya.

Dengan membaca petikan nota Kartini yang ditujukan kapada pemerintah Hindia Belanda tersebut, kita dapat memperkirakan daya nalar Kartini untuk ukuran jamannya.



CITA-CITA SAMBIL BERDO'A